Kendati dalam setahun terakhir frekuensi emisi debu pabrik Semen
Cibinong di Desa Narogong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor sudah
jauh berkurang, penduduk beberapa desa sekitar lokasi pabrik masih
mengeluhkan dampak limbah debu bagi kesehatan mereka.Menurut
pengamatan Kompas, Jumat (8/9), Desa Klapanunggal dan Narogong yang
terletak dalam radius dua kilometer dari lokasi pabrik ialah desa yang
paling parah terkena polusi limbah debu. Di beberapa bagian kedua desa
itu, atap rumah dan daun-daun pohon banyak yang tertutup warna
abu-abu.
Safuan (53), tokoh masyarakat Narogong menuturkan, sebenarnya sejak
tahun lalu debu yang dibuang dari pabrik terasa lebih sedikit.
Pembuangan debu dalam jumlah besar tidak sesering tahun-tahun
sebelumnya. Hujan debu terakhir, terjadi dua bulan lalu. Sekarang
tumpukan debu tidak terlalu tebal karena hujan sudah kerap turun.
Akan tetapi, jika hujan debu terjadi -seperti dua bulan lalu- penduduk
setempat bisa merasakan jatuhnya butir-butir debu hingga pada kulit
mereka. "Kalau digaruk atau digosok kerap menimbulkan gatal-gatal,"
katanya.
Selain di Desa Narogong dan Klapanunggal, limbah debu tampak mencemari
pula Desa Lembukuning. Dudung, seorang sopir angkutan kota menuturkan,
di musim kemarau hujan debu bisa sampai ke Desa Babakan yang berjarak
tiga kilometer dari pabrik. Ia menuturkan, hujan debu sudah terjadi
sejak lama, namun puncaknya terjadi paruh kedua tahun '90-an. Ketika
itu, pihak Semen Cibinong bahkan pernah memberikan kompensasi berupa
pembagian susu bagi masyarakat sekitar. "Biarpun belum pernah dapet,
saya dengar begitu. Sekarang kompensasi itu sudah tidak ada lagi,"
tambahnya.
Pada umumnya, keluhan penduduk mengenai hujan debu berkisar pada
alergi berupa gatal pada kulit, batuk, serta jemuran yang selalu
tertutup debu ketika diangkat. "Meski sudah disetrika, kadang-kadang
tetap terasa gatal," jelas seorang ibu pemilik wartel di Klapanunggal.
Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Klapanunggal Dr Zulvana
Rachel yang ditemui terpisah, tidak bersedia menyebutkan berapa pasien
yang menderita gatal-gatal atau batuk akibat debu. Namun ia mengakui,
di antara pasiennya ada yang datang dengan keluhan gatal-gatal pada
kulit. Namun, ia tidak berani memastikan apakah mereka menderita
penyakit yang disebabkan oleh polusi debu pabrik semen. "Itu masih
dugaan, harus dibuktikan dulu," ujarnya.
Menurut catatan Kompas, pabrik Semen Cibinong di Desa Narogong
memproduksi 2,6 juta ton semen per tahun. Terakhir, pembaharuan
seluruh alat penyaring debu dilakukan tahun 1990 dengan investasi Rp
11 milyar.
Lumayan
Sementara itu, penanganan polusi emisi debu PT Indocement Tunggal
Prakarsa Tbk (PT ITP) dinilai lumayan. Kalau tiga atau empat tahun
lalu, genting-genting rumah cukup tebal oleh debu, kini tidak lagi,
terkecuali jika terjadi kemarau panjang.
Dua warga Desa Puspanegara, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, yang
bekerja sebagai penjual minuman dingin dan ketoprak di depan Puskesmas
Citeureup, Aswar (39) dan Sarwan (41) menilai, Sekarang hujan abu itu
kadang-kadang saja. Makanya, genting-genting juga tidak terlalu banyak
abunya.
Ketika ditanya, apakah polusi debu itu mengganggu kesehatannya, Sarwan
menjawab tidak. "Kalau mengganggu kesehatan, dari dulu, penduduk di
sini pasti sudah demo," tukas Sarwan.
Aswar dan Sarwan menilai, keberadaan PT Indocement dinilai banyak
membantu meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar.
"Hampir semua penduduk di sini kerja di Indocement. Gajinya juga, saya
dengar lumayan tinggi," kata Sarwan.
Kepala Puskesmas Citeureup dr Gusmedi Alibasyah, yang ditemui terpisah
mengemukakan, untuk memastikan apakah polusi emisi debu yang
dihasilkan PT Indocement membahayakan kesehatan atau tidak, diperlukan
penelitian intensif.
Akan tetapi, berdasarkan pengalamannya menjadi dokter Puskesmas di
Citeureup selama empat tahun, ia menilai tidak ada tanda-tanda yang
cukup signifikan bahwa polusi emisi debu yang dihasilkan secara
langsung mempengaruhi kesehatan penduduk sekitar pabrik.
Menurut Gusmedi, bila dilihat berdasarkan pola penyakit pengunjung
Puskesmas, tidak ditemukan tanda-tanda cukup signifikan. Dari sekitar
250 pasien yang berobat ke Puskesmas setiap harinya, yang menderita
penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) memang cukup tinggi.
Akan tetapi, persentasenya tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan
saat ia melakukan praktik di Kecamatan Leuwiliyang, Kabupaten Bogor,
tempat yang tidak memiliki pabrik semen.
Sementara itu, Staf Senior Manajemen Lingkungan, Kesehatan, dan
Keselamatan PT Indocement, Dr L Meily Widjaja MSc, mengatakan untuk
meningkatkan kualitas penanganan polusi emisi debu, perusahaan
merencanakan melakukan pembaharuan alat.
"Sekarang alat yang digunakan oleh Indocement ialah Electrostatic
Praecipitator seharga Rp 55 milyar, yang memiliki daya serap debu
sebesar 90,99 persen. Akan tetapi, untuk lebih memaksimalkan kerjanya,
mulai tahun depan sampai tahun 2004 akan dilakukan pembaharuan secara
bertahap," tandas Meily Widjaja. (p02/p10)
Cibinong di Desa Narogong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor sudah
jauh berkurang, penduduk beberapa desa sekitar lokasi pabrik masih
mengeluhkan dampak limbah debu bagi kesehatan mereka.Menurut
pengamatan Kompas, Jumat (8/9), Desa Klapanunggal dan Narogong yang
terletak dalam radius dua kilometer dari lokasi pabrik ialah desa yang
paling parah terkena polusi limbah debu. Di beberapa bagian kedua desa
itu, atap rumah dan daun-daun pohon banyak yang tertutup warna
abu-abu.
Safuan (53), tokoh masyarakat Narogong menuturkan, sebenarnya sejak
tahun lalu debu yang dibuang dari pabrik terasa lebih sedikit.
Pembuangan debu dalam jumlah besar tidak sesering tahun-tahun
sebelumnya. Hujan debu terakhir, terjadi dua bulan lalu. Sekarang
tumpukan debu tidak terlalu tebal karena hujan sudah kerap turun.
Akan tetapi, jika hujan debu terjadi -seperti dua bulan lalu- penduduk
setempat bisa merasakan jatuhnya butir-butir debu hingga pada kulit
mereka. "Kalau digaruk atau digosok kerap menimbulkan gatal-gatal,"
katanya.
Selain di Desa Narogong dan Klapanunggal, limbah debu tampak mencemari
pula Desa Lembukuning. Dudung, seorang sopir angkutan kota menuturkan,
di musim kemarau hujan debu bisa sampai ke Desa Babakan yang berjarak
tiga kilometer dari pabrik. Ia menuturkan, hujan debu sudah terjadi
sejak lama, namun puncaknya terjadi paruh kedua tahun '90-an. Ketika
itu, pihak Semen Cibinong bahkan pernah memberikan kompensasi berupa
pembagian susu bagi masyarakat sekitar. "Biarpun belum pernah dapet,
saya dengar begitu. Sekarang kompensasi itu sudah tidak ada lagi,"
tambahnya.
Pada umumnya, keluhan penduduk mengenai hujan debu berkisar pada
alergi berupa gatal pada kulit, batuk, serta jemuran yang selalu
tertutup debu ketika diangkat. "Meski sudah disetrika, kadang-kadang
tetap terasa gatal," jelas seorang ibu pemilik wartel di Klapanunggal.
Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Klapanunggal Dr Zulvana
Rachel yang ditemui terpisah, tidak bersedia menyebutkan berapa pasien
yang menderita gatal-gatal atau batuk akibat debu. Namun ia mengakui,
di antara pasiennya ada yang datang dengan keluhan gatal-gatal pada
kulit. Namun, ia tidak berani memastikan apakah mereka menderita
penyakit yang disebabkan oleh polusi debu pabrik semen. "Itu masih
dugaan, harus dibuktikan dulu," ujarnya.
Menurut catatan Kompas, pabrik Semen Cibinong di Desa Narogong
memproduksi 2,6 juta ton semen per tahun. Terakhir, pembaharuan
seluruh alat penyaring debu dilakukan tahun 1990 dengan investasi Rp
11 milyar.
Lumayan
Sementara itu, penanganan polusi emisi debu PT Indocement Tunggal
Prakarsa Tbk (PT ITP) dinilai lumayan. Kalau tiga atau empat tahun
lalu, genting-genting rumah cukup tebal oleh debu, kini tidak lagi,
terkecuali jika terjadi kemarau panjang.
Dua warga Desa Puspanegara, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, yang
bekerja sebagai penjual minuman dingin dan ketoprak di depan Puskesmas
Citeureup, Aswar (39) dan Sarwan (41) menilai, Sekarang hujan abu itu
kadang-kadang saja. Makanya, genting-genting juga tidak terlalu banyak
abunya.
Ketika ditanya, apakah polusi debu itu mengganggu kesehatannya, Sarwan
menjawab tidak. "Kalau mengganggu kesehatan, dari dulu, penduduk di
sini pasti sudah demo," tukas Sarwan.
Aswar dan Sarwan menilai, keberadaan PT Indocement dinilai banyak
membantu meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar.
"Hampir semua penduduk di sini kerja di Indocement. Gajinya juga, saya
dengar lumayan tinggi," kata Sarwan.
Kepala Puskesmas Citeureup dr Gusmedi Alibasyah, yang ditemui terpisah
mengemukakan, untuk memastikan apakah polusi emisi debu yang
dihasilkan PT Indocement membahayakan kesehatan atau tidak, diperlukan
penelitian intensif.
Akan tetapi, berdasarkan pengalamannya menjadi dokter Puskesmas di
Citeureup selama empat tahun, ia menilai tidak ada tanda-tanda yang
cukup signifikan bahwa polusi emisi debu yang dihasilkan secara
langsung mempengaruhi kesehatan penduduk sekitar pabrik.
Menurut Gusmedi, bila dilihat berdasarkan pola penyakit pengunjung
Puskesmas, tidak ditemukan tanda-tanda cukup signifikan. Dari sekitar
250 pasien yang berobat ke Puskesmas setiap harinya, yang menderita
penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) memang cukup tinggi.
Akan tetapi, persentasenya tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan
saat ia melakukan praktik di Kecamatan Leuwiliyang, Kabupaten Bogor,
tempat yang tidak memiliki pabrik semen.
Sementara itu, Staf Senior Manajemen Lingkungan, Kesehatan, dan
Keselamatan PT Indocement, Dr L Meily Widjaja MSc, mengatakan untuk
meningkatkan kualitas penanganan polusi emisi debu, perusahaan
merencanakan melakukan pembaharuan alat.
"Sekarang alat yang digunakan oleh Indocement ialah Electrostatic
Praecipitator seharga Rp 55 milyar, yang memiliki daya serap debu
sebesar 90,99 persen. Akan tetapi, untuk lebih memaksimalkan kerjanya,
mulai tahun depan sampai tahun 2004 akan dilakukan pembaharuan secara
bertahap," tandas Meily Widjaja. (p02/p10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar